Sabtu, 15 Februari 2014

Hutanku: Jantung Negeriku dan Paru-Paru Dunia



Hutanku: Jantung Negeriku dan Paru-Paru Dunia

Melindungi hutan berarti menghentikan perubahan iklim. Penghancuran dan degradasi hutan berpengaruh besar terhadap perubahan iklim dalam dua hal. Pertama, perambahan dan pembakaran hutan melepaskan karbon dioksida ke atmosfir. Kedua, kerusakan hutan akan mengurangi area hutan yang menyerap karbon dioksida. Peran mereka dalam mengatur iklim sangat penting sehingga jika kita terus menghancurkan hutan tropis, maka kita akan kalah dalam memerangi perubahan iklim. Hutan adalah rumah bagi keanekaragaman hayati dunia yaitu jutaan binatang dan tumbuhan. Terlebih lagi, jutaan masyarakat asli hutan bergantung kepada hutan sebagai sumber kehidupan mereka. Maka mari galakkan Protect Paradise untuk menyelamatkan habitat harimau sumatera jika tidak ingin nasib hewan ini punah seperti yang berada di Pulau Bali dan Pulau Jawa.
Kerusakan hutan sering  dilakukan dengan pengeringan lahan dan pembalakan hutan yang dapat melepaskan karbon yang ada di dalam gambut ke udara. Pembakaran yang terjadi di lahan gambut yang telah kering melepaskan karbon. Hutan gambut lenyap akibat pembalakan, pengeringan dan di bakar untuk perluasan kelapa sawit. Lahan gambut ini (dengan kedalaman  lebih dari  2 meter) menyimpan karbon yang sangat besar. Ketika mereka di keringkan dan di bakar akan menjadi sebuah bom karbon, melepaskan hampir dua milliyar ton karbondioksida berbahaya setiap tahun.
Agar kerusakan hutan tidak semakin parah maka dilakukan moratorium deforestasi. Moratorium  deforestasi  adalah mekanisme untuk menahan kehancuran hutan, sementara itu moratorium juga menyediakan waktu dan ruang yang dibutuhkan untuk membangun jaringan dari area yang dilindungi dan area yang memang didedikasikan untuk pengelolaan hutan yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Moratorium semacam ini akan menciptakan insentif bagi industri untuk meningkatkan produktivitas secara dramatis dalam wilayah-wilayah perkebunan yang ada.
Pada tahun 2003, hutan hujan Indonesia berkurang lebih cepat dari hutan manapun di dunia. Bisnis kuat yang dikendalikan beberapa keluarga menghancurkan hutan seluas negara Belgia tiap tahunnya untuk membuat kertas, kertas pembungkus dan kayu murah. Ratusan ribu hektar hutan dan lahan gambut yang kaya karbon terbakar saat perusahaan kelapa sawit membuka hutan untuk perkebunan homogen yang luas, menggusur masyarakat lokal dan menghancurkan habitat orangutan terakhir dan Harimau Sumatra.
Kerjasama menurunkan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), telah ditandatangani pada 16 Mei 2012. REDD, atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan): Sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi GRK dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.
Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon. Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara negara peserta yang melakukan konservasi hutannya. Skema REDD memperbolehkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang memicu deforestasi. Pemicu tersebut saat ini menyebabkan terjadinya pembalakan yang merusak dan konversi hutan untuk penggunaan lainnya, seperti padang penggembalaan ternak, lahan pertanian, dan perkebunan.
Peninjauan kembali izin menjadi penting untuk segera dilakukan dalam rangka mempercepat proses perbaikan tata kelola kehutanan, sehingga perlu diregulasi. Inisiatif tersebut juga sejalan dengan Letter of Intent yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Norwegia, dan semestinya menjadi salah satu indikator kesuksesan pelaksanaan moratorium.
Pelaksanaan moratorium untuk mencegah pembalakan hutan yang diantaranya merupakan kayu berkualitas. Ramin adalah nama dagang umum diberikan untuk sejumlah spesies kayu keras tropis berwarna terang yang khas berasal dari wilayah Asia Tenggara, terutama Indonesia dan Malaysia. Kayu Ramin memiliki nilai komersial yang tinggi, dan digunakan untuk membuat produk seperti bingkai foto, tongkat bilyar, tirai, pegangan perkakas dan cetakan dekoratif.
Di Indonesia, penyebaran ramin sebagian besar terbatas pada hutan hujan dibawah ketinggian 1500 meter. Habitat utama untuk salah satu spesies utama ramin di Indonesia (Gonystylus bancanus) adalah hutan rawa gambut di provinsi Riau, Jambi dan Sumatra Selatan, dan provinsi Kalimantan Barat dan Tengah.
Meskipun ramin Indonesia adalah spesies yang dilindungi secara internasional, habitatnya terus ditebang habis – mendorong ramin dan spesies yang terancam lainnya seperti harimau Sumatra menuju kepunahan. Kayu ramin dari pembukaan hutan ini dicampur dengan berbagai kayu hutan hujan lain untuk memuaskan sektor pulp dan kertas. Tempat untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dan industri harus melakukan tindakan untuk melindungi hutan rawa gambut dan membasmi penebangan liar dan perdagangan ramin.
Sumber: